Mahabara, Perang Baratayudha (8): Duryudhana Mati
Bagian kisah kali ini adalah kisah kematian Duryodhana. Marilah saya ajak melihat akan kebingungan Duryodhana, setelah kehilangan panglima-panglima perang yang diharapkan untuk dapat menolong menegakkan kerajaan Korawa. Prajurit Korawa terpilih hanya tinggal 3 orang, Krepa, Aswatama, dan Karthamarma. Duryodhana meninggalkan medan pertempuran dan bersembunyi dalam telaga. Demi melihat Duryodhana. meninggalkan medan, ke tiga prajuritnya mencari dengan diikuti oleh Sanjaya. Ke tiga orang tadi mengajak, agar pertempuran dilanjutkan. Namun Duryodhana menolak dengan alasan sudah lelah. Orang-orang yang kebetulan mendengar percakapan tadi, antara Duryodhana dengan ke tiga prajurit Korawa tadi melaporkan pada Pandawa.
Para Pandawa segera menuju tempat itu dan
mendekatinya. Yudhistira mengajak untuk berperang. Terjadilah tanya jawab
antara Yudhistira dengan Duryodhana. Duryodhana menolak dengan alasan bahwa dia
telah lelah dan perlu mengaso. Ke dua segalanya telah rusak, dan dia dengan
rela akan masuk hutan. Seterusnya Duryodhana dengan rela menyerahkan kerajaan
Hastina kepada Yudhistira. Ke empat dia tak mungkin akan melawan musuh yang
lengkap dengan persenjataannya. Bila Pandawa suka maju satu persatu, Duryodhana
akan mau berperang.
Demi mendengar kata-kata itu, Yudhistira
menyanggupinya dan akan memberikan senjata. Bhimalah sebagai lawannya.
Pertarungan antara Bhima melawan Duryodhana diadakan di Tegal Kuru Kestra
dengan perang tanding yang disaksikan oleh Baladewa. Perjanjian yang diadakan
bersama-sama tak boleh memukul sebelah bawah pinggang. Pertarungan sengit
sekali. Ke dua-duanya sama kuat dan ahli. Bhatara Krishna demi melihat keduanya
tak ada yang kalah dan menang, memberikan isyarat agar Arjuna menepuk paha
kirinya.
Setelah Bhima melihat Arjuna menepuk paha kiri,
segeralah Bhima memukul paha kiri Duryodhana. Rubuhlah Duryodhana. Demikian
Duryodhana rebah, Bhima segera mendekati Duryodhana dan memperingatkan, pada
waktu memberi malu Drupadi, menepuk-nepuk paha kiri. Dan juga menginjak kepala
Duryodhana. Yudhistira marah melihat tindakan Bhima lalu memperingatkan akan
tindakannya, karena Duryodhana adalah saudara tua, walaupun dia sebagai musuh.
Baladewa marah, dan akan memukul Bhima, namun
dapat dicegah oleh Krishna, dengan menjelaskan duduk persoalannya. Bhatara
Krishna mendekat dan mempersalahkan Duryodhana, sebagai penyebab terjadinya
perang Bharata Yudha dan hancurnya keluarga Kuru. Duryodhana menjawab,
bahwa dia telah puas. Kepuasannya disebabkan apa yang dicita-citakan telah
tercapai. Dia tolak menjadi raja besar yang dihormati, dan kawan-kawan yang
dicintainya telah hancur bersama dia sendiri.
Walaupun Pandawa menang dengan menerima kerajaan
yang telah rusak binasa. Hastina menjadi hak Pandawa. Pada waktu itu Duryodhana
masih hidup. Setelah Pandawa pulang ke pesanggrahan, Krishna memperingati Arjuna
agar turun dari keretanya, lalu diikuti oleh Bhatara Krishna sendiri. Demikian
Bhatara Krishna turun kereta menjadi abu dan simbul kera putih pada bendera
Arjuna hilang. Melihat keajaiban itu Arjuna bertanya. Bhatara Krishna menjawab,
selama kereta ini aku naiki dia tidak akan hancur. Sebenarnya dulu telah hancur
kena panah sakti anugerah Dewa. Demikianlah kesaktian Bhatara Krishna yang
menjadi pemimpin dan pelindung para Pandawa. Selesailah perang Bharata Yudha
itu.
Setelah kita sama mengetahui dan membaca gugurnya
Duryodhana maka tamatlah perang Bharata Yudha di Tegal Kuruksetra. Tinggal
sekarang mencari apa yang terkandung didalamnya.
Duryodhana
sebagai kakak tertua yang menjadi Raja Hastina. Kakak tertua di Hastina
mengandung maksud bahwa keterikatan akan materi (dunia), adalah merupakan
dorongan jiwa yang pertama, semenjak lahir. Tanpa dorongan itu tak mungkin akan
dapat hidup.
Pergi bersembunyi di telaga atau pergi menyelinap
dengan kepentingan karena masih hidup. Yang perlu materi untuk mempertahankan
hidup. Namun pandangan sifat licik itu muncul dalam pelaksanaan Trikaya.
Kerthamarma sebagai alat untuk kepentingan kepuasan nafsu. Bhima sebagai sifat
tidak terikat. Sifat terikat dan tidak terikat bertempur mengadu kekuatan.
Sumber kekuatan menyaksikan (Baladewa). Pengendali kebenaran (Krishna).
Kebijaksanaan yang benar dapat memberikan keharusan bertindak daripada sifat
beramal menyalahkan materi (paha kiri) dengan secara paksa. Dengan kekalahan
keterikatan itu berarti telah tergantinya kekuasaan pada materi, namun dharma
si pemegang kewajiban hidup menjadi marah atas tindakan Bhima menginjak kepala
Duryodhana.
Inilah suatu tindakan keliru yang diperbuat oleh Bhima. Sifat-sifat beramal,
agar jangan seperti Bhisma, maka wajarlah kalau Dharma itu sendiri akan
menyalahkannya. Sifat keterikatan harus juga mendapatkan penghargaan. Berarti
keterikatan itu menyebabkan adanya daya tarik untuk selalu berusaha akan
mendapatkan materi. Dengan materi yang ada barulah dapat beryadnya dan
juga untuk mempertahankan. Kepala adalah kehormatan. Benarlah bila Dharma marah
dan memberikan peringatan kepada Bhima.
Dengan kekalahan sifat menerima (ketergantungan),
ilmu pembinaan hanya untuk kepentingan diri sendiri (duniawi) tingkah
laku/usaha yang tidak baik, perasaan mudah tersinggung dan berprasangka (sifat
keakuan), perasaan ingin berkuasa, untuk menikmati dunia sebagai pemenuhan
nafsu indria, lenyapnya sifat keterikatan akan materi sebagai penyebab
kesengsaraan lahir bathin. Setelah sifat keterikatan itu lumpuh, kebahagiaan di
ambang pintu dengan Yudhistira masuk surga.
Seperti yang diceritakan, tinggal masih tiga
orang. Bila semua sifat yang tersebut atau yang dibawakan Bhisma sebagai
wadahnya, Drona dengan pengetahuan yang pamerih, Jayadrata dengan kekuasaannya
serta keagungannya, Dussesana dengan tindakannya yang salah, Karna hanya untuk
mempertahankan harga diri, Salya yang terikat akan kenikmatan dunia, gugurlah
Duryodhana yang membawa lenyapnya kekayaan yang didapat dengan jalan tidak
baik.
Setelah selesai dengan Bharata Yudha, dilanjutkan
dengan Yudhistira menjadi Raja.