Bhisma Yang Agung, Jejaka Tua Panglima Perang Astinapura
Bhisma >> Di cerita Mahabharata, sosok Bhisma digambarkan sebagai seorang kakek tua bijaksana. Ia sesepuhkerajaan,
dihormati semua kalangan baik kesatria, brahmana, juga para dewa. Meski
tak lagi muda, Bhisma masih saja perkasa, kekuatannya tiada bandingan,
bahkan Bhima sekalipun tak sanggup melawannya.
Di Medan Kurusetra,
Bhisma didapuk memegang pucuk pimpinan pasukan kurawa. Selama sembilan
hari bala pandawa dibuat kocar-kacir meladeni gempuran Bhisma. Arjuna,
kesatria panah andalan pandawa sampai kewalahan menghadapi sang kakek.
Sayang seribu sayang, pada hari kesepuluh Perang Bharatayudha, Bhisma
ditakdirkan gugur ditangan seorang “perempuan” karena tindakannya di
masa lalu. Bhisma sengaja merelakan ajal untuk kemenangan pandawa,
karena kakek ini paham benar siapa benar dan siapa salah. Kematian
Bhisma adalah pertanda kekalahan kurawa sekaligus awal kebangkitan
pandawa.
Terlahir Sebagai Dewabrata
Suatu hari Maharaja Sentanu bersua dengan perempuan molek di tepi
Sungai Gangga. Karena terpesona akan kecantikan gadis tersebut, Maharaja
Sentanu berkeinginan meminangnya. Sebelum menerima pinangan, si gadis
memberikan prasyarat; selama menjadi suami, Maharaja Sentanu dilarang
marah kepadanya dengan alasan apapun. Maharaja Sentanu juga tidak boleh
melarang setiap tindakan yang dilakukannya kelak, entah itu baik atau
buruk. Jika sampai dilanggar, maka ia tak sudi lagi menjadi istri dan
akan pergi meninggalkan Maharaja Sentanu.
Setelah pernikahan berlangsung, mereka dikarunia banyak anak. Anehnya, sehabis babaran,
sang istri membawa bayinya ke Sungai Gangga lalu membuangnya. Maharaja
Sentanu mengetahui tindakan itu sangatlah kejam, namun ia tidak mampu
berbuat apa-apa karena janjinya dahulu. Perbuatan keji itu dilakukan
terus menerus sampai kelahiran anak ketujuh. Dan pada kelahiran putra
kedelapan, Maharaja Sentanu sudah tidak tahan menahan amarah, ia
mencegah istrinya saat akan membuang bayinya ke sungai.
Saat itulah sang
istri berterus terang bahwa ia sebenarnya adalah penjelmaan dari Dewi
Gangga. Perbuatan keji yang dilakukannya tak lain hanyalah untuk
membebaskan delapan wasu dari kutukan Resi Wasistha. Karena Maharaja
Sentanu sudah melanggar janji, Dewi Gangga pergi bersama bayi
terakhirnya. Jika sudah waktunya, si bayi akan dikembalikan kepada
Maharaja Sentanu. Bayi tersebut dinamai Dewabrata.
Sumpah Bhisma
Dewabrata tumbuh menjadi lelaki perkasa. Ibunya sudah mengajari weda dan wedanta,
juga seni berperang. Ia pun dinobatkan menjadi putra mahkota kerajaan.
Setelah ditinggal Dewi Gangga, selama bertahun-tahun waktu Maharaja
Sentanu dihabiskan untuk membesarkan dan mendidik Dewabrata. Selain itu,
ia memusatkan perhatian pada pemerintahan. Hingga suatu hari, tatkala
Maharaja Sentanu berjalan-jalan di pinggir sungai Yamuna, ia melihat
seorang perempuan cantik, anak seorang nelayan di wilayah bagian
Kerajaan Hastina.
Maharaja Sentanu lalu mendatangi si nelayan guna mengutarakan
keinginan mengawini putrinya, Se Ayah gadis itu membolehkan putrinya
dibawa, asalkan Maharaja Sentanu bersedia berjanji, kelak anak yang
lahir dari putrinya akan mewarisi tahta kerajaan. Syarat itu terasa
berat bagi Maharaja Sentanu, karena ia memiliki putra terkasih Dewabrata
yang sudah digadang-gadang menjadi ahli warisnya. Ia pun mengurungkan
niat untuk menikah lagi dan kembali ke kerajaan.
Meski sudah berlangsung lama, pertemuan dengan Satyawati di tepi
Sungai Yamuna terus dipikirkan oleh Maharaja Sentanu. Ia pun menjadi
murung hingga jatuh sakit. Dewabrata mengetahui apa yang membuat
ayahandanya menjadi seperti itu. Ia pun mendatangi si nelayan dengan
maksud melamar putrinya untuk Maharaja Sentanu.
Dewabrata bersedia
melepaskan jabatan putra mahkota setelah anak Satyawati lahir. Si
nelayan tidak meragukan ketulusan Dewabrata, namun ia ragu dengan
keturunan Dewabrata kelak. Meski Dewabrata rela melepaskan tahta, belum
tentu anak-anaknya mengikhlaskan. Mendengar perkataan itu, seketika
Dewabrata mengucap sumpah untuk tidak menikah selama hidupnya, sehingga
ia tidak akan memiliki keturunan. Dan setelah itu, Satyawati dibawaya
pulang ke Hastina dan menikah dengan ayahnya.
Semenjak Dewabrata bersumpah menjadi perjaka, saat itulah namanya
berganti menjadi Bhisma. Nama Bhisma memiliki arti “manusia yang
mengucap sumpah berat dan melaksanakannya.” Bhisma adalah simbol dari
keteguhan hati juga kesetiaan.
Bhisma dan Amba
Dari Satyawati, Sentanu mendapat putra Citragada dan Wicitrawirya.
Citragada tidak memiliki anak, ia mati muda karena terbunuh dalam
pertarungan. Wicitrawirya pun dinobatkan menjadi raja, karena masih
bocah, maka pemerintahan kerajaan dipegang Bhisma sampai Wicitrawirya
dewasa. Setelah Wicitrawirya cukup umur, Bhisma menyerahkan kerajaan
kepada Wicitrawirya, ia juga berniat mencarikan adiknya permaisuri.
Bhisma ikut sayembara di negeri Kasi dan berhasil membawa pulang pulang
Putri Amba, Ambika, dan Ambalika.
Sesampai di Hastina, Amba menolak dinikahkan dengan Wicitrawirya
karena ia sudah memiliki tambatan hati. Dengan ijin Bhisma, Amba pergi
menemui kekasihnya Sayangnya, Amba ditolak oleh kekasihnya yakni Raja
Salwa dari Saubala. Sebelumnya, Salwa terlibat perkelahian dengan Bhisma
saat ia berusaha menghadang Bhisma dalam perjalanan pulang dari negeri
Kasi. Salwa kalah karena kemampuannya tidak sebanding dengan Bhisma.
Bagi salwa, kekalahan tersebut adalah suatu penghinaan. Dan seorang
kesatria tak pantas menerima pemberian dari orang yang mengalahkannya.
Salwa menyarankan Amba kembali dan menikah dengan
Wicitrawirya.Sekembalinya ke Hastinapura, Amba kembali menerima
penolakan. Wicitrawirya tidak sudi menikahi Amba karena ia tahu hati
Amba hanyalah untuk Salwa. Amba tak kuasa menahan sedih, ia memohon
kepada Bhisma agar menikahinya. Namun, Bhisma sudah terikat sumpah, ia
tidak mungkin menikah.
Amba tetap tinggal di istana Hastina, bertahun-tahun kesepian. Ia
menyimpan kemarahan pada Bhisma, karena tindakan Bhisma lah, ia
menjalani hidup tidak bahagia. Semakin hari amarah Amba semakin besar
membawa, keinginan memiliki pendamping sudah digantikan keinginan
membunuh Bhisma. Pelbagai upaya dilakukan, namun tak satupun berhasil.
Amba lalu memutuskan pergi ke Himalaya dan melakukan tapa berat.
Disana.ia mendapat petunjuk dari Batara Syiwa, bahwa dikehidupan
mendatang Amba sendirilah kelak membunuh Bhisma.Saking tidak sabarnya,
Amba memilih dengan membakar diri. Di kehidupan berikutnya, Amba
terlahir sebagai putri Raja Drupada bernama Srikandi.
Bhisma Gugur
Di medan Kurusetra, tempat berlangsungnya Perang Bharatayudha, Bhisma
menjadi panglima pasukan kurawa. Meski sudah tua, kakek ini masih mahir
memainkan senjata. Otaknya juga masih encer merencanakan strategi
perang. Selama kurawa dipimpin Bhisma, bala pasukan pandawa kewalahan
dan teresak. Sembilan hari perang berlangsung, tak ada mampu mengalahkan
Bhisma.
Atas nasihat Krishna, pandawa mendatangi tenda Bhisma pada malam
kesembilan. Mereka pasrah, tak menemukan cara mengalahkan sang kakek.
Pandawa memohon agar sang kakek memberitahuan kelemahannya. Bhisma
mengalah, ia memberitahukan kelemahannya ke pihak lawan.
Bhisma bukanlah
manusia jahat, ia sadar benar bahwa ia berada di pihak yang keliru
sedangkan pandawa di pihak benar. Berkali-kali Bhisma mengupayakan usaha
damai antara Hastina dan Indraprasta meski sia-sia. Dan ketika dua
kerajaan menyatakan perang, Bhisma wajib membela Hastina sebagai wujud
bela negara.
Bhisma memegang teguh etika perang. Ia tidak akan menyerang prajurit
yang membuang senjata atau jatuh dari kereta. Ia juga tidak akan
menyerang mereka yang senjatanya terlepas, melarikan diri, menyerah,
atau ketakutan. Bhisma tidak akan pernah menyerang seorang perempuan.
Di hari ke sepuluh pandawa menempatkan Srikandi sebagai juru mudi
kereta Arjuna. Tugas Arjuna adalah menyerang Bhisma. Karena mengetahui
Srikandi merupakan titisan Amba dan terlahir sebagai perempuan, Bhisma
berusaha menghindari Arjuna dalam pertempuran.
Meski begitu, Srikandi
tetap mengejar Bhisma hingga ia terdesak. Saat itulah pertarungan tidak
bisa dihindari, Arjuna dan Srikandi terus menerus melancarkan serangan
panah, Bhisma pun turut membalas. Dan saat tubuh Bhisma ambruk terkena
panah, ia berteriak kepada semua orang, “Panah ini milik Arjuna bukan
Srikandi.”
Sumber: Mahabharata: Sebuah Perang Dahsjat dimedan Kurukshetra. (Njoman S. Pendit Bhratara:Jakarta.1970) | sejarah.kompasiana.com/2010/12/07/bhisma/
Comments
Post a Comment
Weblog ini dikunjungi ribuan orang tiap harinya. Terima Kasih atas Kunjungan Anda. Berikan kritik, saran, dan/atau tanggapanmu di kolom komentar. :-)