NIAT SEORANG KULI BANGUNAN
Di awal pembangunan gedung megah 27 lantai Kantor Pusat Salah Satu Direktorat di Departemen Keuangan yang bernilai lebih dari Rp 800 milyar, konon ada seorang petinggi dari Departemen Keuangan yang menyamar dan mengawasi pembangunan gedung itu secara langsung. Petinggi tersebut datang mengenakan pakaian biasa dan tidak lebih bagus dari pakaian pekerja di area calon gedung 27 lantai tersebut.
Didatanginya salah satu pekerja yang sedang bekerja dengan peluh bercucuran dan ditanyalah pekerja itu, “Pak, sedang mengerjakan apa?”, sambil mengarahkan pandangannya pada cangkul yang ada di tangan pekerja bangunan tersebut.
“Beginilah nasib orang susah, Pak. Dapatnya kerjaan seperti ini saja, jadi kuli bangunan, selalu mendapat kerjaan kasar, menggali tanah pakai cangkul. Terpaksa saya kerjakan hal ini, daripada keluarga saya tidak makan”, jawab pekerja tersebut dengan nada mengeluh.
Setelah mendapat jawaban itu, petinggi itu manggut-manggut dan beralih ke pekerja lainnya di sudut lahan itu. Ditanyalah pekerja tua dengan kaos lusuh bergambar partai politik yang tidak masuk batasan parliamentary threshold dengan pertanyaan yang sama. Pekerja yang kelihatan giat mencangkul tanah keras di depannya kemudian menjawab, ”Ooh, saya sedang membangun sebuah gedung yang akan dipakai oleh orang-orang pinter yang akan memikirkan masa depan negara ini“.
Sang pejabat terkejut dengan jawaban tersebut dan ditanya lagi pekerja tersebut dengan pertanyaan lainnya.
“Bukannya pekerjaan Bapak cuma mencangkul tanah ini saja, kenapa kok mengaku membangun gedung ini?”
“Saya memang cuma bertugas mencangkul dan menggali tanah sepanjang garis ini untuk dijadikan pondasi gedung ini. Tapi saya merasa pada hakikatnya saya ikut berperan membangun gedung ini dengan ikut menggali tanah ini untuk dibuat pondasi gedung ini.”
Pejabat tinggi itu kembali manggut-manggut dan dalam benaknya dia berdoa, “Semoga yang menghuni gedung ini nanti mempunyai pikiran seperti pekerja yang satu ini.”
Akan tetapi, marilah kita cerminkan ke diri kita dalam setiap aktivitas kita. Aktivitas kita sebagai pegawai / karyawan yang tiap hari berangkat pagi dan pulang sore (mungkin malam) perlu kita renungkan ulang dengan kisah di atas.
Pekerja pertama bekerja sebagai kuli bangunan untuk memenuhi keinginannya mencari uang untuk makan dan tidak peduli dengan tujuan pekerjaannya. Asalkan dia bisa mendapatkan haknya (baca: upahnya) secara penuh maka itu cukup. Tak perlu dia pikirkan manfaat dari pekerjaannya bagi orang lain, apalagi ikut merasa memiliki pekerjaannya. Menggali tanah ya menggali tanah, tidak ada makna lain. Titik. Tak penting baginya untuk menjiwai pekerjaanya dalam membuat pondasi sebuah bangunan tinggi.
Berbeda dengan pekerja kedua yang selain berniat mencari nafkah, dia juga mempunyai visi yang jelas dengan pekerjaannya. Dia niatkan pula untuk memberi kontribusi pada apa yang menjadi sumber nafkahnya. Dia yakin betul bahwa pekerjaan yang menjadi sumber penghasilannya juga menjadi ajang bagi dia untuk mengabdikan dirinya sehingga bermanfaat bagi orang lain. Meskipun hanya menggali tanah untuk pondasi gedung tersebut, dia merasa bahwa pekerjaannya penting dan perlu dikerjakan dengan sungguh-sungguh agar gedung itu berdiri dengan kokoh. Dia menilai pekerjaannya bukan sebagai hal kecil karena akan banyak orang yang memanfaatkan bangunan megah itu nantinya.
Kedua pekerja itu sama-sama bercucuran keringat dan pegal-pegal karena pekerjaanya. Upahnya juga sama. Tapi Tuhan mencatat lain karena pekerja kedua meniatkan dua hal di dalam hatinya yaitu mencari nafkah sekaligus beribadah dengan ikut membangun gedung tinggi sedangkan pekerja pertama hanya satu niat saja, nafkah.
Pekerja kedua merasa bahwa pekerjaan yang sedang dilakukannya adalah bentuk ibadahnya sehingga dia menjalankan dengan hatinya, tidak mudah mengeluh karena meskipun niat pertamanya untuk mendapatkan nafkah hanya terpenuhi sekadarnya karena kecilnya upahnya, tapi dalam hatinya ada rasa bahagia karena bisa bermanfaat dalam pembangunan gedung itu. Bukan tidak mungkin karena ketulusan niatnya maka Tuhan akan permudah urusannya, setidaknya Tuhan berikan rasa nyaman dan ketenangan dalam hatinya. Sementara pekerja pertama lebih mengukur segala sesuatunya hanya berkaitan dengan satu-satunya niat, yaitu penghasilan baginya, sehingga segala sesuatu pun selalu diukur dengan seberapa niatnya (penghasilannya) terwujud dalam pekerjaannya.
Mungkin kita selama ini bekerja di tempat kerja kita seperti pekerja pertama yang bekerja hanya untuk mendapatkan keinginannya yaitu mendapatkan nafkah untuknya dan keluarganya. Tentu saja boleh-boleh saja bekerja dengan niat mencari nafkah. Bahkan menurut beberapa keterangan, hal tersebut merupakan salah satu bentuk jihad. Hanya saja jika hanya itu saja niat yang kita yakini dalam hati maka kita hanya mendapatkan apa yang kita niatkan saja, yaitu penghasilan dan hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Seandainya kita bisa menambahkan niat kedua dalam hati kita bahwa kita bekerja agar mendapatkan keridhoan Tuhan dengan cara memberi kebermanfaatan kepada negara ini melalui pekerjaan kita, maka Tuhan pun akan mencatat dan membalas niat kita, karena Tuhan Mahateliti dan tidak melewatkan segala sesuatu, sekecil apa pun itu.
“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya dan sesungguhnya setiap orang akan dibalas berdasarkan apa yang diniatkannya” (Muhammad SAW)
Sumber:portalkits**
Comments
Post a Comment
Weblog ini dikunjungi ribuan orang tiap harinya. Terima Kasih atas Kunjungan Anda. Berikan kritik, saran, dan/atau tanggapanmu di kolom komentar. :-)