Kisah Penginjil/Bruder Masuk Islam
Ahok masuk islam?Bisa saja jika Alloh berkehendak.
Seorang penginjil/bruder saja bisa dapat hidayah dan masuk islam.
Ia adalah Steven Indra Wibowo.
[Seorang mualaf ibarat besi
yang baru jadi. Saatnya Allah menempa kita dan menjadikannya sebilah pedang.
Kalau tidak ditempa, tidak akan tajam.]
Bagi Steven Indra Wibowo, agama adalah sebuah pilihan hidup. Seperti filosofi
yang dianut oleh para leluhurnya, setiap pilihan inilah yang nantinya menjadi
pegangan dalam mengarungi bahtera kehidupan. ‘’Bagi saya, Islam adalah pegangan
hidup,’’ ujar pria kelahiran Jakarta, 14 Juli 1981 ini kepada Republika.
Sebelum memutuskan memeluk Islam, Indra adalah seorang penganut Katolik yang
taat. Ayahnya adalah salah seorang aktivis di GKI (Gereja Kristen Indonesia)
dan Gereja Bethel. Di kalangan para aktivis GKI dan Gereja Bethel, ayahnya
bertugas sebagai pencari dana di luar negeri bagi pembangunan gereja-gereja di
Indonesia. Karena itu, tak mengherankan jika sang ayah menginginkan Indra kelak
mengikuti jejaknya dengan menjadi seorang bruder (penyebar ajaran Katolik—Red).
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, sejak usia dini ia sudah digembleng untuk
menjadi seorang bruder. Oleh sang ayah, Indra kecil kemudian dimasukkan ke
sekolah khusus para calon bruder Pangudi Luhur di Ambarawa, Jawa Tengah.
Hari-harinya ia habiskan di sekolah berasrama itu. Pendidikan kebruderan
tersebut ia jalani hingga jenjang SMP. ‘’Setamat dari Pangudi Luhur, saya harus
melanjutkan ke sebuah sekolah teologi SMA di bawah Yayasan Pangudi Luhur,’’
ujarnya.
Karena untuk menjadi seorang bruder, minimal harus memiliki ijazah diploma tiga
(D3), selepas menamatkan pendidikan teologia di SMA tahun 1999, Indra
didaftarkan ke Saint Michael’s College di Worcestershire, Inggris, yaitu sebuah
sekolah tinggi khusus Katolik. Di negeri Ratu Elizabeth itu, pria yang kini
menjabat sebagai sekretaris I Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) ini
mengambil jurusan Islamologi.
Selama menempuh pendidikan di Saint Michael’s College ini, Indra mempelajari
mengenai hadis dalam ajaran Islam. ‘’Intinya, kita mempelajari hadis dan
riwayatnya itu untuk mencari celah agar orang Muslim percaya, bahwa apa yang
diajarkan dalam agama mereka tidak benar. Memang kita disiapkan untuk menjadi
seorang penginjil atau misionaris,’’ paparnya. Bahkan, untuk mengemban tugas
sebagai seorang penginjil, ia harus melakoni prosesi disumpah tidak boleh
menikah dan harus mengabdikan seluruh hidupnya untuk Tuhan.
Namun, seiring dengan aktivitasnya sebagai seorang penginjil, justru mulai
timbul keraguan dalam dirinya atas apa yang ia pelajari selama ini. Apa yang
dipelajarinya, bertolak belakang dengan buku-buku yang ia temui di toko-toko
buku. Hingga akhirnya, suatu hari tatkala mendatangi sebuah toko buku ternama
di Jakarta, ia menemukan sebuah buku karangan Imam Ghazali. Buku yang mengulas
mengenai hadis dan sejarah periwayatannya itu cukup menarik perhatiannya.
Dari semula hanya sekadar iseng membaca gratis sambil berdiri di toko buku
tersebut, Indra akhirnya memutuskan untuk membelinya. ‘’Setelah saya baca dan
pelajari buku tersebut, ternyata banyak referensi dan penjelasan mengenai hadis
yang diriwa -yatkan oleh Bukhari dan Muslim. Akhirnya, saya juga memutuskan
untuk membeli buku kumpulan hadis-hadis Bukhari dan Muslim,’’ kata dia.
Berawal dari sinilah, Indra mulai mengetahui bahwa hadishadis yang selama ini
dipelajarinya di Saint Michael’s College, ternyata tidak diakui oleh umat Islam
sendiri. ‘’Hadis-hadis yang saya pelajari tersebut ternyata maudhu’ (palsu).
Dari sana, kemudian saya mulai mencari-cari hadis yang sahih,’’ tukasnya.''
Dari Katedral ke Istiqlal
Keinginan Indra untuk mempelajari ajaran Islam, tak hanya sampai di situ. Di
sela-sela tugasnya sebagai seorang penganut Katolik, diam-diam Indra mulai
mempelajari gerakan shalat. Kegiatan belajar shalat itu ia lakukan selepas
menjalankan ritual ibadah Minggu di gereja Katedral, Jakarta. Tak ada yang
mengetahui kegiatan ‘mengintipnya’ itu, kecuali seorang adik laki-lakinya.
Namun, sang adik diam saja atas perilakunya itu.
‘’Ketika waktu shalat zuhur datang dan azan berkumandang dari seberang (Masjid
Istiqlal—Red), kalung salib saya masukkan ke dalam baju, sepatu saya lepas dan
titipkan. Kemudian, saya pinjam sandal tukang sapu kebun di Katedral. Setelah
habis shalat, saya balik lagi mengenakan kalung salib dan kembali ke
Katedral,’’ paparnya.
Aktivitasnya yang ‘konyol’ di mata sang adik itu, ia lakoni selama dua bulan.
Dan, berkat kerja sama sang adik pula, tindakan yang ia lakukan tersebut tidak
sampai ketahuan oleh ayahnya. Dari situ, lanjut Indra, ia baru sebatas
mengetahui orang Islam itu shalat empat rakaat dan selama shalat diam semua.
Tahap berikutnya, ayah satu orang putri ini mulai belajar shalat maghrib di
sebuah masjid di daerah Muara Karang, Jakarta Utara. Ketika itu, ia beserta
keluarganya tinggal di wilayah tersebut.
‘’Dari situ, saya mulai mengetahui ternyata ada juga shalat yang bacaannya
keras. Kemudian, saya mulai mempelajari shalat-shalat apa saja yang bacaannya
dikeraskan dan tidak.’’ Setelah belajar shalat zuhur dan maghrib, ia melanjutkan dengan shalat isya, subuh,
dan ashar. Kesemua gerakan dan bacaan shalat lima waktu tersebut ia pelajari
secara otodidak, yakni dengan cara mengikuti apa yang dilakukan oleh jamaah
shalat. Sampai tata cara berwudhu pun, menurut penuturannya, ia pelajari dan
hafal dengan menirukan apa yang dilakukan oleh para jamaah shalat.
‘’Saya lihat orang berwudhu, ingat-ingat gerakannya, baru setelah sepi saya
mempraktikkannya. Dan, Alhamdulillah dalam waktu seminggu saya sudah bisa hafal
gerakan berwu -dhu. Begitu juga, dengan gerakan shalat dan bacaannya. Saya melihat
gerakan imam dan mendengar bacaannya sambil berusaha mengingat dan
menghafalnya,’’ terang Direktur Operasional Mustika (Muslim Tionghoa dan
Keluarga), sebuah lembaga yang mewadahi silahturahim, informasi, konsultasi,
dan pembinaan agama Islam.
Untuk memperdalam pengetahuannya mengenai tata cara ibadah shalat, Indra pun
mencoba mencari tahu arti dan makna dari setiap gerakan serta bacaan dalam
shalat, melalui buku-buku panduan shalat yang harganya relatif murah. Melalui
shalat ini, ungkap Indra, ia menemukan suatu ibadah yang lebih bermakna, lebih
dari hanya sekadar duduk, kemudian mendengarkan orang ceramah dan kadang sambil
tertidur, akhirnya tidak dapat apa-apa dan hampa.
‘’Ibaratnya sebuah bola bowling, tampak di permukaan luar -nya keras dan kokoh,
tetapi di dalamnya kosong. Berbeda de ngan ibadah shalat yang ibaratnya sebuah
kelereng kecil, wa lau pun kecil, di dalamnya padat. Saya lebih memilih menjadi
se buah kelereng kecil daripada bola bowling tersebut,’’ ujar nya mengumpamakan
ibadah yang pernah ia lakoni sebelum menjadi Muslim dan sesudahnya.
Tujuh jahitan
Setelah merasa mantap, Indra pun memutuskan untuk masuk Islam dengan dibantu
oleh seorang temannya di Serang, Banten. Peristiwa itu terjadi sebelum
datangnya bulan Ramadhan di tahun 2000. Keislamannya ini, kata dia, baru
diketahui oleh kedua orang tuanya setelah ia memutuskan untuk kembali ke
Jakarta. Kabar mengenai keislamannya ini diketahui orang tuanya dari para rekan
bisnis sang ayah.
Karena mungkin pada waktu itu, papa saya sedang mengerjakan proyek pembangunan
resort di wilayah Muara Karang dan Pluit, makanya papa punya banyak kenalan dan
teman. Dan, mungkin orang-orang itu sering melihat saya datang ke masjid dan
mengenakan peci, makanya dilaporkan ke papa, kenangnya. Ayahnya pun memutuskan
untuk mengirim orang untuk memata-matai setiap aktivitas Indra sehari-hari.
Setelah ada bukti nyata, ia kemudian dipanggil dan disidang oleh ayahnya. Saya
beri penjelasan kepada beliau bahwa Islam itu bagi saya adalah pegangan hidup.
Di hadapan ayahnya, Indra mengatakan bahwa selama menjalani pendidikan calon
bruder, dirinya mendapatkan kenyataan bahwa pastur yang selama ini ia hormati
ternyata melakukan perbuatan asusila terhadap para suster. Demikian juga,
dengan para frater yang menghamili siswinya dan para bruder yang menjadi homo.
Ibaratnya saya pegangan ke sebuah pohon yang rantingranting daunnya pada patah,
dan saya rasa pohon itu sudah mau tumbang kalau diterpa angin. Sampai akhirnya,
saya ketemu dengan sebatang bambu kecil, yang tidak akan patah meski diterpa
angin.
Seakan tidak terima dengan penjelasan sang anak, ayahnya pun menampar Indra
hingga kepalanya terbentur ke kaca. Beruntung saat kejadian tersebut sang ibu
langsung membawa Indra ke Rumah Sakit Atmajaya. Sebagai akibatnya, ia mendapatkan
tujuh jahitan di bagian dahinya. Kendati begitu, ibunya tetap tidak bisa
menerima keputusan putra pertamanya tersebut.
Tidak hanya mendapatkan tujuh jahitan, oleh ayahnya kemudian Indra diusir
setelah dipaksa harus menandatangani surat pernyataan di hadapan notaris,
mengenai pelepasan haknya seba gai salah satu pewaris dalam keluarga. Saya
tidak boleh menerima semua fasilitas keluarga yang menjadi hak saya,ujarnya.
Meski hidup dengan penuh cobaan, ungkap Indra, masih ada Allah SWT yang
menyayanginya dan membukakan pintu rezeki untuknya. Salah satunya, proposal
pengajuan beasiswa yang ia sampaikan ke Universitas Bina Nusantara (Binus)
disetujui. Di Binus juga, ia mempunyai waktu luang dan kesempatan untuk
menyampaikan syiar Islam, baik melalui forumforum pengajian maupun internet.
Karena itu, saya melihat mualaf itu ibaratnya sebuah besi yang baru jadi. Jadi,
saatnya Allah menempa kita dan menjadikannya sebilah pedang. Jadi, kalau tidak
ditempa, tidak akan tajam, katanya. nidia zuraya
Biodata
Nama : Indra Wibowo
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 14 Juli 1981
Masuk Islam : 2000
Status : Menikah dan mempunyai satu orang putri
Pendidikan Akhir : Sarjana (S1) Komunikasi Universitas Padjadjaran
Aktivitas :
- Sekretaris I Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)
- Direktur Operasional Mustika (Muslim Tionghoa dan Keluarga)
*Sumber: Republika Online (7/7/2009)
Itu berita ditulis sudah lama, tahun 2009. Tentu kini sudah banyak perubahan.
Kini Steven Indra Wibowo aktif berdakwah sebagai Ketua Mualaf Center Indonesia.
Sikap keluarga besarnya juga mungkin sudah berubah. Untuk lebih jelasnya bisa
ditanyakan langsung ke Steven Indra Wibowo bisa melaui akun facebooknya: https://www.facebook.com/steven.indra.wibowo. Foto diatas
dari photo profile facebook Steven.
[Seorang mualaf ibarat besi yang baru jadi. Saatnya Allah
menempa kita dan menjadikannya sebilah pedang. Kalau tidak ditempa, tidak akan
tajam.]
Bagi Steven Indra Wibowo, agama adalah sebuah pilihan hidup.
Seperti filosofi yang dianut oleh para leluhurnya, setiap pilihan inilah yang
nantinya menjadi pegangan dalam mengarungi bahtera kehidupan. ‘’Bagi saya,
Islam adalah pegangan hidup,’’ ujar pria kelahiran Jakarta, 14 Juli 1981 ini
kepada Republika.
Sebelum memutuskan memeluk Islam, Indra adalah seorang penganut
Katolik yang taat. Ayahnya adalah salah seorang aktivis di GKI (Gereja Kristen
Indonesia) dan Gereja Bethel. Di kalangan para aktivis GKI dan Gereja Bethel,
ayahnya bertugas sebagai pencari dana di luar negeri bagi pembangunan
gereja-gereja di Indonesia. Karena itu, tak mengherankan jika sang ayah
menginginkan Indra kelak mengikuti jejaknya dengan menjadi seorang bruder
(penyebar ajaran Katolik—Red).
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, sejak usia dini ia
sudah digembleng untuk menjadi seorang bruder. Oleh sang ayah, Indra kecil
kemudian dimasukkan ke sekolah khusus para calon bruder Pangudi Luhur di
Ambarawa, Jawa Tengah. Hari-harinya ia habiskan di sekolah berasrama itu.
Pendidikan kebruderan tersebut ia jalani hingga jenjang SMP. ‘’Setamat dari Pangudi
Luhur, saya harus melanjutkan ke sebuah sekolah teologi SMA di bawah Yayasan
Pangudi Luhur,’’ ujarnya.
Karena untuk menjadi seorang bruder, minimal harus memiliki
ijazah diploma tiga (D3), selepas menamatkan pendidikan teologia di SMA tahun
1999, Indra didaftarkan ke Saint Michael’s College di Worcestershire, Inggris,
yaitu sebuah sekolah tinggi khusus Katolik. Di negeri Ratu Elizabeth itu, pria
yang kini menjabat sebagai sekretaris I Persatuan Islam Tionghoa Indonesia
(PITI) ini mengambil jurusan Islamologi.
Selama menempuh pendidikan di Saint Michael’s College ini,
Indra mempelajari mengenai hadis dalam ajaran Islam. ‘’Intinya, kita
mempelajari hadis dan riwayatnya itu untuk mencari celah agar orang Muslim
percaya, bahwa apa yang diajarkan dalam agama mereka tidak benar. Memang kita
disiapkan untuk menjadi seorang penginjil atau misionaris,’’ paparnya. Bahkan,
untuk mengemban tugas sebagai seorang penginjil, ia harus melakoni prosesi
disumpah tidak boleh menikah dan harus mengabdikan seluruh hidupnya untuk
Tuhan.
Namun, seiring dengan aktivitasnya sebagai seorang
penginjil, justru mulai timbul keraguan dalam dirinya atas apa yang ia pelajari
selama ini. Apa yang dipelajarinya, bertolak belakang dengan buku-buku yang ia
temui di toko-toko buku. Hingga akhirnya, suatu hari tatkala mendatangi sebuah
toko buku ternama di Jakarta, ia menemukan sebuah buku karangan Imam Ghazali.
Buku yang mengulas mengenai hadis dan sejarah periwayatannya itu cukup menarik
perhatiannya.
Dari semula hanya sekadar iseng membaca gratis sambil
berdiri di toko buku tersebut, Indra akhirnya memutuskan untuk membelinya.
‘’Setelah saya baca dan pelajari buku tersebut, ternyata banyak referensi dan
penjelasan mengenai hadis yang diriwa -yatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Akhirnya, saya juga memutuskan untuk membeli buku kumpulan hadis-hadis Bukhari
dan Muslim,’’ kata dia.
Berawal dari sinilah, Indra mulai mengetahui bahwa
hadishadis yang selama ini dipelajarinya di Saint Michael’s College, ternyata
tidak diakui oleh umat Islam sendiri. ‘’Hadis-hadis yang saya pelajari tersebut
ternyata maudhu’ (palsu). Dari sana, kemudian saya mulai mencari-cari hadis
yang sahih,’’ tukasnya.''
Dari Katedral ke Istiqlal
Keinginan Indra untuk mempelajari ajaran Islam, tak hanya
sampai di situ. Di sela-sela tugasnya sebagai seorang penganut Katolik,
diam-diam Indra mulai mempelajari gerakan shalat. Kegiatan belajar shalat itu
ia lakukan selepas menjalankan ritual ibadah Minggu di gereja Katedral,
Jakarta. Tak ada yang mengetahui kegiatan ‘mengintipnya’ itu, kecuali seorang
adik laki-lakinya. Namun, sang adik diam saja atas perilakunya itu.
‘’Ketika waktu shalat zuhur datang dan azan berkumandang
dari seberang (Masjid Istiqlal—Red), kalung salib saya masukkan ke dalam baju,
sepatu saya lepas dan titipkan. Kemudian, saya pinjam sandal tukang sapu kebun
di Katedral. Setelah habis shalat, saya balik lagi mengenakan kalung salib dan
kembali ke Katedral,’’ paparnya.
Aktivitasnya yang ‘konyol’ di mata sang adik itu, ia lakoni
selama dua bulan. Dan, berkat kerja sama sang adik pula, tindakan yang ia
lakukan tersebut tidak sampai ketahuan oleh ayahnya. Dari situ, lanjut Indra,
ia baru sebatas mengetahui orang Islam itu shalat empat rakaat dan selama
shalat diam semua. Tahap berikutnya, ayah satu orang putri ini mulai belajar
shalat maghrib di sebuah masjid di daerah Muara Karang, Jakarta Utara. Ketika
itu, ia beserta keluarganya tinggal di wilayah tersebut.
‘’Dari situ, saya mulai mengetahui ternyata ada juga shalat
yang bacaannya keras. Kemudian, saya mulai mempelajari shalat-shalat apa saja
yang bacaannya dikeraskan dan tidak.’’ Setelah belajar shalat zuhur dan
maghrib, ia
melanjutkan dengan shalat isya, subuh, dan ashar. Kesemua
gerakan dan bacaan shalat lima waktu tersebut ia pelajari secara otodidak,
yakni dengan cara mengikuti apa yang dilakukan oleh jamaah shalat. Sampai tata
cara berwudhu pun, menurut penuturannya, ia pelajari dan hafal dengan menirukan
apa yang dilakukan oleh para jamaah shalat.
‘’Saya lihat orang berwudhu, ingat-ingat gerakannya, baru
setelah sepi saya mempraktikkannya. Dan, Alhamdulillah dalam waktu seminggu
saya sudah bisa hafal gerakan berwu -dhu. Begitu juga, dengan gerakan shalat
dan bacaannya. Saya melihat gerakan imam dan mendengar bacaannya sambil
berusaha mengingat dan menghafalnya,’’ terang Direktur Operasional Mustika
(Muslim Tionghoa dan Keluarga), sebuah lembaga yang mewadahi silahturahim,
informasi, konsultasi, dan pembinaan agama Islam.
Untuk memperdalam pengetahuannya mengenai tata cara ibadah
shalat, Indra pun mencoba mencari tahu arti dan makna dari setiap gerakan serta
bacaan dalam shalat, melalui buku-buku panduan shalat yang harganya relatif
murah. Melalui shalat ini, ungkap Indra, ia menemukan suatu ibadah yang lebih
bermakna, lebih dari hanya sekadar duduk, kemudian mendengarkan orang ceramah
dan kadang sambil tertidur, akhirnya tidak dapat apa-apa dan hampa.
‘’Ibaratnya sebuah bola bowling, tampak di permukaan luar
-nya keras dan kokoh, tetapi di dalamnya kosong. Berbeda de ngan ibadah shalat
yang ibaratnya sebuah kelereng kecil, wa lau pun kecil, di dalamnya padat. Saya
lebih memilih menjadi se buah kelereng kecil daripada bola bowling tersebut,’’
ujar nya mengumpamakan ibadah yang pernah ia lakoni sebelum menjadi Muslim dan
sesudahnya.
Tujuh jahitan
Setelah merasa mantap, Indra pun memutuskan untuk masuk
Islam dengan dibantu oleh seorang temannya di Serang, Banten. Peristiwa itu
terjadi sebelum datangnya bulan Ramadhan di tahun 2000. Keislamannya ini, kata
dia, baru diketahui oleh kedua orang tuanya setelah ia memutuskan untuk kembali
ke Jakarta. Kabar mengenai keislamannya ini diketahui orang tuanya dari para
rekan bisnis sang ayah.
Karena mungkin pada waktu itu, papa saya sedang mengerjakan
proyek pembangunan resort di wilayah Muara Karang dan Pluit, makanya papa punya
banyak kenalan dan teman. Dan, mungkin orang-orang itu sering melihat saya
datang ke masjid dan mengenakan peci, makanya dilaporkan ke papa, kenangnya.
Ayahnya pun memutuskan untuk mengirim orang untuk memata-matai setiap aktivitas
Indra sehari-hari. Setelah ada bukti nyata, ia kemudian dipanggil dan disidang
oleh ayahnya. Saya beri penjelasan kepada beliau bahwa Islam itu bagi saya
adalah pegangan hidup.
Di hadapan ayahnya, Indra mengatakan bahwa selama menjalani
pendidikan calon bruder, dirinya mendapatkan kenyataan bahwa pastur yang selama
ini ia hormati ternyata melakukan perbuatan asusila terhadap para suster.
Demikian juga, dengan para frater yang menghamili siswinya dan para bruder yang
menjadi homo. Ibaratnya saya pegangan ke sebuah pohon yang rantingranting
daunnya pada patah, dan saya rasa pohon itu sudah mau tumbang kalau diterpa
angin. Sampai akhirnya, saya ketemu dengan sebatang bambu kecil, yang tidak
akan patah meski diterpa angin.
Seakan tidak terima dengan penjelasan sang anak, ayahnya pun
menampar Indra hingga kepalanya terbentur ke kaca. Beruntung saat kejadian
tersebut sang ibu langsung membawa Indra ke Rumah Sakit Atmajaya. Sebagai akibatnya,
ia mendapatkan tujuh jahitan di bagian dahinya. Kendati begitu, ibunya tetap
tidak bisa menerima keputusan putra pertamanya tersebut.
Tidak hanya mendapatkan tujuh jahitan, oleh ayahnya kemudian
Indra diusir setelah dipaksa harus menandatangani surat pernyataan di hadapan
notaris, mengenai pelepasan haknya seba gai salah satu pewaris dalam keluarga.
Saya tidak boleh menerima semua fasilitas keluarga yang menjadi hak
saya,ujarnya. Meski hidup dengan penuh cobaan, ungkap Indra, masih ada Allah
SWT yang menyayanginya dan membukakan pintu rezeki untuknya. Salah satunya,
proposal pengajuan beasiswa yang ia sampaikan ke Universitas Bina Nusantara
(Binus) disetujui. Di Binus juga, ia mempunyai waktu luang dan kesempatan untuk
menyampaikan syiar Islam, baik melalui forumforum pengajian maupun internet.
Karena itu, saya melihat mualaf itu ibaratnya sebuah besi
yang baru jadi. Jadi, saatnya Allah menempa kita dan menjadikannya sebilah
pedang. Jadi, kalau tidak ditempa, tidak akan tajam, katanya. nidia zuraya
Biodata
Nama : Indra Wibowo
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 14 Juli 1981
Masuk Islam : 2000
Status : Menikah dan mempunyai satu orang putri
Pendidikan Akhir : Sarjana (S1) Komunikasi Universitas
Padjadjaran
Aktivitas :
- Sekretaris I Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)
- Direktur Operasional Mustika (Muslim Tionghoa dan
Keluarga)
*Sumber: Republika Online (7/7/2009)
Itu berita ditulis sudah lama, tahun 2009. Tentu kini sudah
banyak perubahan. Kini Steven Indra Wibowo aktif berdakwah sebagai Ketua Mualaf
Center Indonesia. Sikap keluarga besarnya juga mungkin sudah berubah. Untuk
lebih jelasnya bisa ditanyakan langsung ke Steven Indra Wibowo bisa melaui akun
facebooknya: https://www.facebook.com/steven.indra.wibowo. Foto diatas dari
photo profile facebook Steven.