Saraswatichandra Episode 198 dan 199: Sumber Kekuatan Kumud & ‘Pertobatan’ Pramad
Saraswatichandra episode sebelumnya, ketegangan di keluarga Vidiachatur terjadi, saat di sidang perceraian Kumud mengabulkan permohonan terakhir Pramad,
 sementara keluarganya sudah menerima lamaran langsung dari Saras. Saras
 begitu kecewa saat tau Kumud tak jadi bercerai, malah Pramad tinggal di
 rumah keluarga Desai.
Sinopsis serial Saraswatichandra episode 198 dan 199, Saras dengan urat-urat wajah terlihat, saking marahnya berteriak, “Jangan sentuh Kumud. Aku
 sedang bicara dengan calon istriku Pramad. Kau jangan pernah berani 
ikut campur”. Kumud yang diwajahnya masih ada sisa air mata, sangat 
kaget melihat respon yang ditunjukkan Saras. Pramad yang basah disiram 
Saras terpana. Saras menaroh cangkir dengan kasar ke meja dapur yang 
airnya sudah disiramkan ke Pramad. Ia berdiri membelakngi Pramad sambil 
mengatur nafas.
Pramad merapatkan kedua telapak tangannya
 di dada, “Aku mohon, tolong ma’afkan aku Tuan Saras”. Kumud bingung 
melihat dua orang lelaki yang mengisi hidupnya itu. Yang biasanya 
beringas, sekarang terlihat kalem, yang biasanya ‘adem’ sekarang seperti
 ‘banteng terluka’. Pramad membalikkan badannya, melangkah keluar dari 
dapur dengan langkah pelan.
Setelah Pramad tak terlihat, Kumud 
menatap Saras tak mengerti, “Apa yang terjadi padamu”. Kumud melihat ke 
dalam mata Saras. Saras yang masih terlihat sangat marah balas menatap 
Kumud, dengan geraham terkatup rapat, Saras berucap, “Aku tidak perlu 
memberitau siapapun tentang apa yang aku alami Kumud”. Tatapan Kumud 
langsung melunak, terkesiap.
Tatapan marah Saras pada Kumud juga 
berganti dengan tatapan sia-sia telah melakukan semuanya, “Lagipula kau 
telah memilih apa yang kau inginkan bukan”. Kumud dengan wajah memelas 
berkata, “Cobalah mengerti, aku harus, aku harus melakukan ini”. Tatapan
 Saras berubah tatapan menahan emosi, “Tak ada yang harus dimengerti. 
Tidak ada satupun yang harus dimengerti!”.
Saras saking marah, dan tak habis 
pikirnya dengan keputusan Kumud. Saras hanya mampu berkata dengan wajah 
mengernyit menahan marah, “Selamat?!!”, terus melangkah keluar, 
meninggalkan Kumud yang mencoba memanggilnya dengan tangisan tertahan, 
“Saras, Saras!”. Saras tetap melangkah. Tinggal Kumud berdiri dengan air
 mata mengalir.
Di kamarnya, Pramad sedang menaroh 
kalender di dinding saat Kumud masuk membawakan minum. Kumud berhenti 
sebentar, menatap, Pramad memberikan senyum tipis dan mengangguk. Kumud 
terus melangkah ke meja kecil tanpa membalas senyum Pramad, menaroh 
minuman yang dibawanya, kemudian berbalik, melangkah mau keluar.
Pramad yang masih berdiri dekat tanggalan
 berkata, “Bisakah kau melihat tanggalan ini Kumud”, Kumud menghentikan 
langkahnya. Pramad melanjutkan ucapannya sambil melihat tanggalan yang 
tergantung, “Ini baru 15 hari. Dan hari di hari ini sudah berakhir, aku 
tidak bisa membawa senyum kecil diwajahmu”. Kumud tetap diam berdiri 
dengan wajah tanpa senyum, malah terlihat menahan tangis, bukan 
memikirkan ucapan Pramad pastinya tapi memikirkan Saras yang lagi 
ngambek.
Pramad menyilang satu tanggal di 
kalender. Ia menatap Kumud yang tetap berdiri tanpa menoleh ke arahnya, 
“Sekarang tinggal 14 hari tersisa. Aku akan berusaha melakukan yang 
terbaik”.
Kumud tanpa menoleh berkata dengan datar,
 “Sekarang minumlah obat, obatmu ada disana. Besok kita ada janji ke 
dokter jam 10, bersiaplah”. Pramad mengangguk, “Baiklah”. Kumud berjalan
 keluar kamar, tanpa menoleh sekalipun. Pramad hanya bisa menatap Kumud 
dengan mata seperti berpikir.
Di kamarnya, Saras berlari di treadmill 
dengann ucapan Kumud terngiang ditelinga, “Pramad akan tinggal bersamaku
 selamanya”. Akibatnya, Saras berlari makin kencang dengan wajah marah, 
terngiang lagi suara Kumud, “Aku belum bercerai”. Ia berlari makin 
kencang dengan wajah penuh kemarahan, walau keringat sudah membasahi 
pakaiannya. Hpnya berbunyi, ia melirik ke layar Hp yang ditaroh di 
tempat tidur di samping dia lari, ia tau siapa yang menelpon, ia tak 
mempedulikannya.
Di lorong rumahnya, Kumud terlihat sangat
 gelisah sambil menempelkan hp di kupingnya, panggilan telponnya tak 
diangkat, ia berbicara sendiri pada hpnya, “angkat telponnya Saras”, ia 
menelpon lagi. Di kamarnya, begitu mendengar hpnya berbunyi lagi, Saras 
menghentikan treadmill, berdiri sesaat, meredakan nafasnya, dengan wajah
 masih terlihat sangat marah, kemudian melangkah mengambil hp yang ada 
telpon masuk dari Kumud itu, menyentuh layar hp dengan marah, kemudian 
membanting hp itu ke lantai.
Kumud yang udah di kamarnya, menelpon 
lagi sambil menahan tangis. Ia mencoba menelpon lagi, kali ini hanya 
nada tak terhubung yang terdengar. Ia akhirnya benar-benar menangis, 
saat mendengar ada langkah kaki, ia mengusap air matanya dan menoleh, 
Kusum sudah duduk di sampingnya. Kumud mencoba menahan tangisnya dalam 
diam, tapi dadanya yang sesak masih tak bisa diajak kompromi.
Kusum berdiri, menyentuh pundak Kumud, 
“Kakak, kau selalu bilang, waktu adalah obat yang terbaik, semuanya akan
 baik-baik saja kak. Semuanya akan baik-baik saja”. Kumud terisak, “Tapi
 aku, rasa sakitku semakin bertambah seiring waktu. Dalam situasi 
seperti ini, Saras bahkan tidak mendukungku”. Kusum memeluk kakaknya, 
Kumud menumpahkan tangisnya di dada Kusum.






